Pura Langgar Bangli: Simbol Kerukunan Hindu–Islam yang Telah Terjaga Berabad-abad

Kerukunan antarumat beragama di Indonesia bukanlah hal baru; nilai saling menghormati dan hidup berdampingan telah diwariskan sejak berabad-abad oleh para leluhur. Salah satu bukti nyata dari harmonisasi tersebut adalah Pura Langgar, atau yang juga dikenal dengan nama Pura Dalem Jawa Penataran Agung, yang berlokasi di Desa Bunutin, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli – Bali. Pura ini menjadi saksi sejarah bagaimana budaya Hindu Bali dan tradisi Islam berbaur tanpa saling menghilangkan identitas masing-masing.

Keunikan Arsitektur: Perpaduan Hindu Bali dan Unsur Islam

Pura Langgar memiliki bentuk bangunan yang tidak lazim ditemukan pada pura Bali pada umumnya. Di dalam area pura terdapat sebuah bangunan yang menyerupai langgar, yaitu tempat ibadah berukuran kecil dalam tradisi Islam (mirip mushola). Keunikan inilah yang menjadi dasar penamaan Pura Langgar.

Bangunan suci ini berdiri di atas sebuah kolam luas yang dipenuhi bunga teratai, memberikan kesan sakral sekaligus estetis. Keberadaan kolam dipercaya sebagai simbol penyucian dan keseimbangan alam, sebuah nilai yang dijunjung tinggi dalam kepercayaan Hindu Bali.

Ciri Arsitektur yang Mencolok

Di halaman utama pura terdapat bangunan berbentuk segi empat dengan empat pintu, masing-masing menghadap empat arah mata angin. Struktur ini memiliki dua undakan menuju pelataran dan atap bertingkat dua. Menurut cerita turun-temurun, kedua tingkat atap tersebut melambangkan dua unsur penting dalam spiritualitas Islam: syariat dan tarikat.

Representasi simbolik ini memperlihatkan bagaimana masyarakat Bali pada masa lalu menerima dan menghargai masuknya unsur Islam tanpa menghilangkan karakter Hindu Bali yang kental.

Tradisi & Ritual: Perbedaan yang Menyatukan

Pelaksanaan pemujaan di Pura Langgar memiliki perbedaan mencolok dibandingkan pura-pura lain di Bali. Pada umumnya, sesajen umat Hindu menggunakan babi sebagai salah satu persembahan. Namun di Pura Langgar, daging babi tidak digunakan, dan diganti dengan daging ayam serta itik. Penyesuaian ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap ajaran Islam, yang mengharamkan konsumsi babi.

Selain itu, terdapat tradisi khusus yang menyerupai pelaksanaan kurban dalam Islam, yaitu pemotongan hewan seperti kambing atau sapi. Bedanya, prosesi ini tidak dilakukan pada Idul Adha, tetapi dilaksanakan sehari sebelum Hari Raya Nyepi, biasanya sekitar bulan Februari atau Maret. Ritual ini dilakukan sebagai bentuk pemujaan sekaligus wujud syukur masyarakat Hindu terhadap anugerah Tuhan.

Meskipun merupakan tempat ibadah Hindu, banyak umat Islam yang datang berziarah atau sekadar melihat langsung keunikan perpaduan budaya di tempat ini. Interaksi ini menandakan bahwa Pura Langgar bukan hanya tempat pemujaan, tetapi juga simbol persatuan antarumat beragama.

Asal Usul Berdirinya Pura Langgar

Sejarah Pura Langgar tidak terlepas dari hubungan antara Kerajaan Bunutin di Bangli dengan Kerajaan Blambangan di Banyuwangi, Jawa Timur. Dikisahkan bahwa Raja Bunutin, Ida I Dewa Mas Blambangan, merupakan keturunan Raja Blambangan. Setelah dinobatkan sebagai raja, beliau mengalami sakit selama lima tahun dan tidak kunjung sembuh.

Melihat kondisi tersebut, sang adik melakukan ritual “dewasraya” di Mrajan Agung, yaitu semacam meditasi atau semedi yang dibantu oleh seorang balian (pemimpin ritual). Dalam keadaan kerasukan, balian tersebut menyampaikan sabda Ida Bathara:

“Wahai Mas Blambangan, Mas Bunutin, dan semua yang ada di sini.
Aku Dewaning Selam yang bernama Tuhan Allah, minta dibuatkan pelinggih Langgar tempatmu bersembahyang kepada-Ku. Jika tidak dipenuhi, kalian akan menderita sakit berat secara turun-temurun, namun tidak akan mati.”

Permintaan tersebut dianggap sebagai wahyu, sehingga dibangunlah Pelinggih Langgar, yang kemudian menjadi inti dari Pura Langgar. Kepercayaan turun-temurun menyebutkan bahwa siapa pun yang menolak pembangunan ini dapat mengalami musibah atau penderitaan lahir batin.

Cerita ini memperlihatkan bagaimana masyarakat Bali pada masa itu menafsirkan perjumpaan budaya dan spiritual sebagai bagian dari kehendak ilahi yang harus dihormati.

Fasilitas di Area Pura

Untuk mendukung kenyamanan pengunjung dari berbagai agama, Pura Langgar menyediakan sejumlah fasilitas, antara lain:

  • Tempat wudhu dan area sholat bagi pengunjung Muslim
  • Toilet umum
  • Area parkir yang cukup luas untuk kendaraan pribadi

Fasilitas ini memperkuat nilai toleransi yang menjadi identitas Pura Langgar sejak awal berdirinya.

Akses Lokasi

Pura Langgar dapat ditempuh sekitar 45 menit perjalanan dari Kota Denpasar, atau berjarak kurang lebih 32 km. Akses jalan menuju pura sudah tergolong baik, sehingga mudah dicapai menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.

Cerminan Perdamaian Sejak Dulu Hingga Kini

Pura Langgar bukan sekadar bangunan suci, melainkan simbol sejarah yang mengingatkan kita bahwa kerukunan tidak harus dipaksakan—ia tumbuh dari saling menghormati, menerima perbedaan, dan berbagi ruang dalam kehidupan. Keunikan arsitektur dan tradisinya menjadikan Pura Langgar sebagai salah satu destinasi budaya paling menarik di Bali, khususnya bagi mereka yang ingin memahami kehidupan sosial masyarakat Bali yang inklusif.

Keindahan toleransi antarumat beragama dapat disaksikan secara langsung di tempat ini. Semoga nilai harmoni yang diwariskan leluhur terus terjaga dan menjadi inspirasi bagi generasi mendatang.